Jumat, 09 September 2011

contextual teaching and learning

2.1  Konsep Dasar Strategi Pembelajaran CTL
Contextual Teaching and Learning (CTL)  adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan mrnghubungkannya dengan kehidupan nyata, sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Dari konsep tersebut ada 3 hal yang harus dipahami dari strategi pembelajaran CTL seperti :
1.    CTL menekankan proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung.
2.    CTL mendorong siswa untuk dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menghubungkan pengalaman belajar dengan kehidupan nyata.
3.    CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari – hari.
Ada 5 karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL, antara lain :
1.      Pembelajarn merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
2.      Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (aquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya (deduktif).
3.      Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini.
4.      Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (appliying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan prilaku.
5.      Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan yang dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.

2.2  Latar belakang Filosofis dan Psikologis CTL
a.       Latar belakang filosofis
CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Pandangan filsafat konstruktivisme tentang hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, bahwa belajar bukanlah sekadar menghafal tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Piaget berpendapat, bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan “skema”. Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan kucing dan kelinci yang berbulu putih. Berkat keseringannya itu ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua. Berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempurna skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses penyempurnaan skema dan akomodasi adalah proses mengubah skema yang sudah ada hingga terbentuk skema baru. Asimilasi dan akomodasi terbentuk berkat pengalaman siswa.
Contoh proses asimilasi dan akomodasi :
   Pada suatu hari anak merasa panas karena terpercik api, maka berdasarkan pengalamannya terbentuk skema pada struktur kognitif anak tentang api, bahwa api adalah sesuatu byang membahayakan sehingga harus dihindari. Dengan demikian ketika melihat api secara refleks ia akan menghindar. Semakin anak dewasa pengalaman anak tentang api akan bertambah. Ketika anak melihat ibu memasak menggunakan api maka skema yang telah terbentuk itu disempurnakan, bahwa api tidak harus dihindari tetapi dimanfaatkan. Proses penyempurnaan ini disebut asimilasi. Pengalaman tentang api ini akan lebih disempurnakan ketika anak melihat bahwa pabrik – pabrik memerlukan api, kendaraan dan mesin – mesin memerlukan api. Disana akan terbentuk skema baru tentang api, bahwa api bukan harus dihindari dan bukan sekedar  dapat dimanfaatkan tetapi sangat dibutuhkan untuk kehidupan manusia. Proses pembentukan skema baru ini disebut akomodasi.
b.      Latar Belakang Psikologis
Pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka dipandang dari sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dan respons. Belajar tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi dan kemampuan.
Dari latar belakang yang mendasarinya maka ada beberapa hal yang harus dipahami tentang belajar dalam konteks CTL yaitu :
1.      Belajar bukanlah menghafal , tetapi proses mengkontruksi pengetahuan sesuai yang mereka miliki.
2.      Belajar bukan sekedar mengumpulkan fakta yang lepas – lepas, karena pengetahuan merupakan organisasi dari semua yang dialami.
3.      Belajar adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan berkembang secara utuh mental dan emosinya.
4.      Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari yang sederhana menuju yang kompleks.
5.      Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan.



2.3  Perbedaan CTL dengan Pembelajaran Konvensional
Perbedaan pembelajaran konvensional adalah sebagai berikut :
1.    CTL menempatkan siswa sebagai subyek belajar, artinya siswa berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai penerima informasi secara pasif.
2.    Dalam pembelajaran CTL siswa belajar melalui kegiatan kelompok, sedangkan pada pembelajaran konvensional siswa lebih banyak belajar secara individual.
3.    Pembelajaran CTL lebih banyak mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, sedangkan pembelajaran konvensional lebih bersifat teoritis dan abstrak.
4.    Dalam CTL kemampuan didasarkan atas pengalaman, sedangkan pembelajaran konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan.
5.    Dalam CTL prilaku dibangun atas kesadaran sendiri, sedangkan dalam pembelajaran konvensional prilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar.
6.    Dalam CTL pengetahuan individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya, sedangkan dalam pembelajaran konvensional hal ini tidak mungkin terjadi karena kebenaran yang dimiliki bersifat absolut.
7.    Dalam pembelajaran CTL siswa bertanggung jawab mengembangkan pembelajaran mereka masing – masing, sedangkan pembelajaran konvensional guru sebagai penentu jalannya proses pembelajaran.
8.    Dalam CTL pembelajaran bisa terjadi dimana saja sesuai dengan kebutuhan, sedangkan pada pembelajaran konvensional pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas.
9.    Dalam CTL keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara seperti evaluasi proses, hasil karya siswa, rekaman, observasi dan lain sebagainya. Sedangkan pembelajaran konvensional keberhasilan pembelajaran hanya diukur dari tes.
2.4  Asas – asas CTL
Pengetahuan diperoleh anak bukan dari informasi yang diberikan oleh orang lain termasuk guru, melainkan dari proses menemukan dan mengkonstruksinya sendiri. Oleh karena itu, guru harus menghindari mengajar sebagai proses penyampaian informasi. Guru perlu memandang siswa sebagai subyek belajar dengan segala keunikannya.
CTL sebagai suatu pendekatan pembelajaran memiliki 7 asas. Asas- asas ini yang melandasi pelakasanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL.
1.    Konstruktivisme
Konsep ini yang menuntut siswa untuk menyusun dan membangun makna atas pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan tertentu. Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Strategi pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa mendapatkan dari atau mengingat pengetahuan.
2.    Bertanya  (Questioning)
Dalam konsep ini kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Pertanyaan guru digunakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir siswa, seangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan. Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya sangat berguna untuk :
·         Menggali informasi tentang penguasaan siswa dalam penguasaan materi pelajaran
·         Merangsang keingintahuan siswa terhadap sesuatu
·         Memfokuskan siswa pada sesuatu yang diinginkan
·         Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar
·         Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu
Dalam setiap tahapan dan proses pembelajaran kegiatan bertanya hampir selalu digunakan, sehingga kemampuan guru untuk mengembangkan teknik – teknik bertanya sangat diperlukan.
3.    Inkuiri
Proses pembelajaran didasarkan atas pencarian dan penemuan melalui proses berfikir secara sistematis. Pengtahuan bukanlah sejumlah fakta hasil mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dalam proses perencanaan guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Berbagai topik dalam mata pelajaran dapat dilakukan melalui proses inkuiri. Proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah yaitu :
1.      Merumuskan masalah
2.      Mengajukan hipotesis
3.      Mengumpulkan data
4.      Menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan
5.      Membuat kesimpulan
Penerapan inkuiri dalam pembelajaran CTL dimulai dari kesadaran siswa akan masalah yang ingin dipecahkan, sehingga siswa harus didorong untuk menemukan masalah. Jika masalah telah dipahami, maka siswa dapat mengajukan hipotesis sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan. Hipotesis ini akan menuntun siswa untuk mengumpulkan data. Jika data telah terkumpul, selanjutnya siswa dituntun untuk menguji hipotesis tersebut dan merumuskan kesimpulannya.
4.    Komunitas belajar ( Learning Community )
 Komunitas belajar adalah kelompok belajar atau komunitas yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Konsep masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain, baik secara formal maupun dalam lingkungan secara alamiah. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar teman atau antar kelompok.
Dalam kelas CTL penerapan asas ini dapat dilakukan dengan membentuk kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok – kelompok yang anggotanya bersifat heterogen. Dalam kelompok siswa dituntut untuk saling membelajarkan.
5.       Pemodelan ( Modeling )
Dalam konsep ini kegiatan mendemontrasikan suatu kinerja agar siswa dapat mencontoh, belajar atau melakukan sesuatu sesuai dengan model yang diberikan. Misalnya guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan alat. Guru fisika memeperagakan penggunaan alat ukur massa neraca ohhaus.
6.    Refleksi ( Reflection )
     Yaitu melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Adapun realisasinya adalah; pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, catatan dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya.
7.    Penilaian otentik ( Authentic Assessment )
Prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhir periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.
     Penilaian otentik adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar – benar belajar atau tidak. Penilaian ini dilakukan dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung, sehingga tekananya diarahkan pada proses belajar bukan pada hasil belajar.
2.5  Peranan Guru Dalam Penerapan CTL
Setiap siswa mempunyai gaya dan cara yang berbeda dalam belajar. Dalam proses pembelajaran kontekstual setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia siswa, artinya guru perlu menyesuaikan cara mengajar dengan cara belajar siswa. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam menggunakan pendekatan CTL, antara lain :
1. Siswa harus dipandang sebagai manusia yang sedang berkembang dan bukan sebagai orang dewasa dalam ukuran kecil. Kemampuan belajar siswa sangat dipengaruhi oleh level perkembangan siswa sehingga kita tidak boleh memberikan pelajaran yang tidak sesuai dengan level perkembangan siswa tersebut. Dengan demikian guru tidak bertindak sebagai penguasa dalam sebuah pembelajaran, namun ia berperan sebagai pembimbing siswa dalam membimbing mereka sesuai dengan level perkembangannya.
2. Setiap anak memiliki kecenderungan untuk mencoba hal yang baru. Mereka akan senang jika mendapat tantangan-tantangan yang baru. Oleh karena itu, guru berperan sebagai pemilih objek baru dan menantang yang akan dipelajari oleh siswa.
3. Belajar bagi siswa adalah mengaitkan hal-hal yang telah dikuasi dengan informasi baru yang mereka dapatkan. Dengan demikian tugas guru adalah untuk mengaitkan informasi yang telah ada pada siswa dengan hal baru yang ia pelajari.
4. Belajar merupakan proses penyempurnaan skema yang sudah ada pada diri siswa (asimilasi) dan membuat skema yang baru (akomodasi). Dengan demikian guru bertugas untuk membantu melakukan proses asimilasi dan akomodasi.
2.6  Kelebihan dan Kelemahan CTL
a.      Kelebihan CTL (Contextual Teaching and Learning)
·           Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil, artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
·           Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
b.     Kelemahan CTL (Contextual Teaching and Learning)
Adapun kelemahan model pembelajaran CTL ini terletak pada guru yang menerapkan dimana guru harus bekerja  keras untuk mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan perencanaan dalam kehidupan mereka sehari – hari. Oleh karena itu jarangnya guru mau merubah cara mengajar yang masih menggunakan metode ceramah.
2.7   Manfaat Penerapan Model Pembelajaran CTL
a.   Bagi siswa
Dapat memberikan peluang dari siswa untuk melakukan perbaikan terhadap pemahaman konsep yang dicapai, dan hasil belajar yang diperoleh. Dengan model pembelajaran kontekstual kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor siswa akan lebih berkembang. Dengan model pembelajaran kontekstual siswa akan mampu mengaitkan pengetahuan yang dimilikinya dengan gejala-gejala dalam kehidupan sehari-sehari. Dengan model belajar kontekstual siswa akan dapat berfikir secara rasional dan logis.
b.Bagi guru
Dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual seorang guru akan memperoleh pengetahuan teoritik dan pengalaman praktik dalam mengemas dan mengimplementasikan model pembelajaran yang inovatif.
 Dengan model pembelajaran kontekstual, para guru akan mampu menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan mediator yang dinamis, sehingga program pembelajaran yang diimplementasikan menjadi lebih efektif, efesien, dan inovatif. Dengan model pembelajaran kontekstual seorang guru akan lebih mudah menghilangkan miskonsepsi yang terjadi pada siswa, melalui pemberian contoh-contoh konkrit sesuai dengan konteks sehingga mudah dipahami.
BAB 3
PENUTUP
3.1     Kesimpulan
Dari uraian tentang strategi pembelajaran CTL dapat disimpulkan bahwa :
CTL - Contextual teaching and learning adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan CTL sebagai suatu strategi pembelajaran, diantaranya:
  1. Strategi pembelajaran kontekstual adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.
  2. Strategi pembelajaran kontekstual memandang bahwa belajar bukan menghafal akan tetapi proses berpengalaman dalam kehidupan nyata. 
  3. Kelas dalam pembelajaran CTL bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di lapangan.  
  4. Materi pelajaran ditemukan oleh siswa sendiri bukan hasil pemberian dari orang lain.
3.2    Saran 
Dalam pembelajaran CTL guru harus menyesuaikan cara mengajar dengan cara belajar siswa. Guru juga perlu mengarahkan siswa agar menemukan sendiri materi pelajaran. Jika hal ini dapat dilakukan oleh guru maka pembelajaran dengan metode CTL dapat berjalan dengan baik, sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Metode ini menganut aliran konstruktivis, dimana siswa dapat menemukan sendiri pengetahuan tersebut. Selain itu, siswa bukan lagi dipandang sebagai objek yang pasif sebagai penerima informasi saja, melainkan sebagai individu yang juga memiliki kemampuan untuk menggali pengetahuan tentunya dengan bimbingan dari guru karena siswa masih dalam tahap perkembangan.


Daftar Pustaka
Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Dahar, Ratna Wilis. 1989. Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Bandono. 2008. Pembelajaran Kontekstual. Tersedia pada    (http://bandono.web.id/2008/03/07/menyusun-model-pembelajaran-contextual-
     teaching-and-learning-ctl.php/feed)

 Sukarto . 2010. Strategi Pembelajaran CTL. Tersedia pada  
       (http://aadesanjaya.blogspot. com)
.


PKM GT, pelestarian budaya ajeg Bali di kalangan remaja Bali melalui peningkatan keterampilan majejahitan


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pulau Bali merupakan pulau dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu. Agama Hindu yang telah menyatu dengan kebudayaan Bali membuat kebudayaan Bali yang kita jumpai sekarang ini tidak terlepas dari pengaruh Agama Hindu. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan (rwa bhineda), yang sering ditentukan oleh faktor ruang (desa), waktu (kala) dan kondisi riil di lapangan (patra). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan.    
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Kemampuan menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut dapat mewujudkan kesejahteraan. Salah satu bentuk kebudayaan Bali yang paling kental adalah tradisi upacara keagamaan. Berbagai kebudayaan Bali seperti seni tari, seni tabuh, seni patung dan lain sebagainya menjadikan pulau Bali sebagai pulau dengan berbagai kebudayaan unik dan menarik dengan ciri khas tersendiri.
 Pulau Bali yang kaya akan kebudayaan perlu dipertahankan dan dikembangkan, tanpa mengubah nilai – nilai asli kebudayaan tersebut. Masyarakat Bali sekarang ini telah berusaha untuk menanamkan konsep Ajeg Bali. Konsep Ajeg bali merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat Bali untuk tetap mempertahankan, menjaga serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan. Upaya mempertahankan keajegan budaya Bali memang menjadi tanggung jawab semua masyarakat Bali. Konsep Ajeg bali tersebut harus diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat sehari – hari. Contoh upaya implementasi konsep Ajeg Bali adalah dengan meningkatkan keterampilan majejahitan di kalangan remaja Hindu di Bali khususnya bagi remaja putri.
Majejahitan merupakan suatu kegiatan atau keterampilan membuat banten (sesajen yang digunakan dalam upacara atau ritual keagamaan di Bali) dengan berbagai bahan yang berasal dari alam. Masyarakat Bali yang identik dengan upacara keagamaan tidak terlepas dari banten sebagai salah satu sarana persembahan kepada Tuhan yang Maha Esa. Sejarah penggunaan banten diawali dari kedatangan Maha Rsi Markandeya  ke Bali pada abad ke-8. Beliau mendapat wahyu bahwa umat Hindu di Bali perlu melengkapi upakara dengan bentuk sesajen, yang kemudian bernama bali. Jadi nama bali berasal dari artinya yaitu : sajen/banten/upakara. Orang yang memuja Tuhan dengan sarana banten/bali dinamakan orang Bali. Tempat mereka tinggal dinamakan tanah/pulau Bali.
Masyarakat Hindu di Bali khususnya kaum perempuan diharapkan mempunyai keterampilan dalam membuat banten yang disertai dengan kegiatan majejahitan. Mejejahitan  sebenarnya terjadi secara alami, karena setiap anak perempuan memang ada tuntutan seminimal mungkin harus bisa mejejahitan guna membuat canang yang diaturkan setiap ada rerainan (hari suci umat Hindu), seperti kajeng kliwon, purnama, tilem, buda kliwon dan sebagainya. Dalam keluarga orang tua, terutama dari pihak ibu sangat bertanggung jawab dan berperan untuk mendidik anak perempuan belajar mejejahitan. Disadari atau tidak di sini peranan kaum ibu sebagai awal terjadinya proses belajar untuk melatih anak perempuan mejejahitan. Belajar mejejahitan bagi anak perempuan sudah dilakukan sejak usia dini, diawali dulu dengan membantu ibunya mengambil pekerjaan yang ringan. Sehubungan dengan perkembangan anak semakin dewasa, maka pemahaman tentang mejejahitan juga ikut berkembang, sudah barang tentu tidak terlepas dari dorongan dan perhatian dari pihak ibunya. Selanjutnya semua pengetahuan yang dimiliki oleh ibunya bisa ditranfer kepada anak perempuannya. Hal ini sebenarnya sangat membantu meringankan pekerjaan ibu dalam rumah tangga. Mengingat anak perempuannya sudah bisa diandalkan untuk melakukan pekerjaan majejahitan tersebut. Tradisi seperti ini yang masih berlangsung sampai saat ini di dalam keluarga yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi anak (perempuan) yang memiliki kemampuan dan keinginan mengembangkan tentang mejejahitan tentu banyak belajar dan berlatih dengan pihak orang lain yang memiliki pengetahuan lebih luas tentang mejejahitan tersebut. Kenyataannya banyak perempuan Bali yang tidak bisa dalam majejahitan. Kemampuan majejahitan hanya sebatas membuat jejahitan sederhana. Banyak dari mereka yang lebih memilih membeli banten di pasar atau tukang banten. Khususnya bagi mereka yang berkarir, baik di pemerintahan maupun swasta alternatif seperti ini dipilih karena alasan kesibukan. Keterampilan majejahitan ini sebenarnya merupakan sebuah pewarisan budaya hidup dari generasi ke generasi.
Majejahitan merupakan bagian integral masyarakat Bali yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Sehingga sudah sepantasnya perempuan Bali mempelajari keterampilan ini. Agar tetap ajegnya keterampilan majejahitan ini sebagai salah satu warisan budaya Bali, maka sebagai generasi penerus remaja – remaja Bali perlu mempelajari keterampilan ini sejak dini. Dari majejahitan ini perempuan - perempuan Bali belajar dan mewariskan apresiasi mereka terhadap estetika, terhadap unsur – unsur alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah banten. Selain itu, konsep Ajeg Bali yang telah ada di kalangan masyarakat Bali diharapkan tidak hanya sebagai konsep dan istilah saja, tetapi konsep Ajeg Bali tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari – hari.
Ajeg Bali merupakan semua bentuk kegiatan yang bercita – cita menjaga identitas kebalian orang Bali yang dibentuk dengan cara mengartikulasikan Bali sebagai konsep kebudayaan yang dimaknai sebagai adat agama leluhur. Oleh karena itu, agar kebudayaan – kebudayaan Bali tetap kokoh maka perlu realisasi dari semua pihak. Salah satunya remaja Bali sebagai generasi penerus yang akan menerima warisan kebudayaan dan berkewajiban mempertahankan, menjaga serta mengembangkannya.
            Menilik dari permasalahan tersebut maka penulis mencoba mengangkat Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis dengan Judul “ Pelestarian Budaya Ajeg Bali di Kalangan Remaja Bali Melalui Peningkatan Keterampilan Majejahitan , untuk meningkatkan minat remaja Bali dalam mempelajari budaya-budaya tradisional seperti majejejahitan.
Tujuan dan Manfaat
            Terkait dengan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, dalam penulisan ini penulis mengangkat permasalahan bagaimana menerapkan konsep Ajeg Bali dan memberikan solusi dengan meningkatkan keterampilan majejahitan bagi remaja Bali khususnya kaum perempuan.
            Tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk lebih menanamkan budaya Ajeg Bali terutama bagi remaja Bali. Sebagai upaya untuk mempertahankan dan menjaga kelestarian budaya Bali agar tetap kokoh dan terjaga. Tujuan khususnya adalah untuk meningkatkan kesadaran remaja Bali untuk tetap mempelajari kesenian - kesenian tradisional. Salah satunya adalah keterampilan dalam majejahitan sebagai kebutuhan pokok masyarakat Bali, sebagai umat beragama yang identik dengan banten sebagai sarana persembahan kepada Tuhan.
            Adapun manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah  meningkatkan kesadaran remaja Bali untuk mempelajari berbagai kebudayaan tradisional Bali, disamping kebudayan - kebudayaan global yang sekarang ini berkembang pesat. Keterampilan majejahitan sebagai bagian dari upacara keagamaan Bali dapat dikuasai oleh remaja - remaja Bali khususnya perempuan Bali. Ketika sudah menjadi seorang ibu rumah tangga mereka tidak kesulitan dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari, termasuk menyiapkan atau membuat banten sebagai salah satu persembahan kepada Tuhan. Manfaat lain yang dapat diperoleh adalah meningkatnya kreativitas remaja-remaja Bali, khususnya dalam membuat jejahitan sesuai dengan kreasi yang mereka inginkan. Meningkatkan sradha bhakti kepada Tuhan yang Maha Esa melalui goresan atau tuasan - tuasan janur yang dikreasikan dalam majejahitan.
            Bagi penulis sendiri penyusunan karya tulis ini sangat bermanfaat untuk melatih kreativitas dan keterampilan dalam menyusun suatu karya tulis yang berkualitas dan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat.

GAGASAN
Minat remaja Bali terhadap kebudayaan tradisional disamping budaya global saat ini
            Dewasa ini kebudayaan tradisional semakin terhimpit oleh kebudayaan global. Kebudayaan tradisional yang merupakan warisan nenek moyang dianggap sesuatu yang kuno. Hanya sebagian kecil masyarakat yang memperhatikan kelestarian kebudayaan tradisional. Fenomena seperti itu juga terlihat pada beberapa kebudayaan tradisional Bali. Kebudayaan tradisional Bali juga mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Pengaruh kebudayaan global menjadi salah satu penyebabnya. Masyarakat saat ini berpacu pada sesuatu yang modern. Sehingga bagi mereka hal yang tradisional dianggap ketinggalan jaman.
            Adaptasi budaya global sangat terlihat dari kebiasaan – kebiasaan yang mulai berubah. Seperti cara berpakaian, sopan santun bertutur kata dan lain sebagainya. Perubahan yang paling besar terjadi di kalangan remaja. Kondisi remaja yang masih labil menyebabkan hal – hal yang baru mudah mempengaruhinya. Remaja juga mulai menunjukkan gejala yang sama. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan remaja mulai meninggalkan kebudayaan tradisional. Hal itu dapat kita lihat pada sedikitnya minat remaja Hindu di Bali untuk mempelajari kebudayaan seperti keterampilan majejahitan. Hanya sedikit remaja yang mempunyai keterampilan majejahitan. Pewarisan keterampilan majejahitan seharusnya dimulai sejak dini. Remaja merupakan obyek pewarisan yang pertama terhadap berbagai kebudayaan. Jika dari sekarang minat terhadap majejahitan mulai menurun, maka bisa  dibayangkan beberapa tahun kemudian tidak akan dijumpai orang – orang yang dapat majejahitan. Hal tersebut sangat ditakuti oleh masyarakat Bali.

Makna Majejahitan
Secara konsepsional majejahitan merupakan suatu aktivitas untuk mendapatkan bentuk-bentuk dari potongan bahan dedaunan seperti busung (daun kelapa yang masih muda atau janur), selepan (daun kelapa yang masih hijau), ron (daun enau yang masih hijau), ambu (daun masih muda yang berwarna putih) dan ental atau rontal (daun dari pohon ental masih muda dan memlalui proses pengeringan), Agung Mas Putra (1985: 4). Secara umum daun tersebut, dalam realitasnya di masyarakat banyak digunakan sebagai sarana upacara bebantenan (sesajen) bagi umat Hindu di Bali.  Daun itu kemudian dipotong-potong sesuai ukuran yang dikehendaki oleh orang yang mengerjakan, sesuai dengan panjang jarak antara ibu jari dengan telunjuk ditambah satu jari melintang (amusti). Potongan-potongan daun inilah yang dirangkai dengan menjahit menggunakan “semat”, yaitu irisan bambu yang kecil dengan ukuran minimal 0,1 X 15-50 cm. Ukuran panjang daripada irisan bambu sangat tergantung pada ruas daripada bambu itu sendiri. Pekerjaan memotong daun-daunan yang dilanjutkan menjahit dengan semat atau benang disebut  mejejahitan,  sedangkan hasilnya disebut jejahitan. Pekerjaan memotong dedaunan untuk mendapatkan sesuatu bentuk disebut “metetuasan” dan hasilnya disebut “tetuasan”. Pekerjaan merangkai menjahit dengan “semat” disebut “ngakit” atau “nyahit” (Mas Putra, 1985: 4).
            Majejahitan merupakan bagian dari matanding (kegiatan untuk menyanding-nyandingkan atau menata berbagai bahan sesaji sehingga menjadi sebuah keutuhan sebuah banten). Mejejahitan pada dasarnya mengandung suatu konsep keindahan atau estitika, sangat menarik dipandang sehingga setiap orang ingin belajar, sebab berbagai bentuk dapat diperlihatkan. Semua jejahitan memakai ornamen dengan teknis tetuasan dan reringgitan sehingga mengandung simbolis atau lambang suatu bentuk persembahan. Disamping itu pula berfungsi sebagai dekorasi, yaitu hiasan bermakna sebagai simbolis misalnya: tamiang, kolem, gantung-gantungan, lamak, dan lain-lain. Dekorasi tersebut bermakna untuk menciptakan kemeriahan dan kesemarakan suatu ruangan seperti Liasan Paku Pipid, Gebongan, Janur dan sebagainya.
Keterampilan majejahitan ini diwariskan dari generasi ke generasi. Ini terjaga dari abad ke abad. Dalam suka cita pewarisannya selalu ada yang terbaharui. Sehingga sering kita lihat model atau penampilan banten berbeda-beda dari setiap generasi dan setiap tempat. Hal itu disesuaikan dengan aturan Desa ( tempat ), kala ( waktu ), dan patra ( keadaan ). Tapi hal tersebut tidak mengubah makna Banten sebagai persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Majejahitan dan matanding menjadi aktivitas dibalik semua ritual dan upacara –upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat hindu di Bali. Ini menjadi bagian teramat penting dari sebuah prosesi     ritual. Adapun jenis jejahitan yang akan disajikan adalah sebagai berikut :
1.      Porosan
2.      Canang Genten
3.      Canang sari
4.      Canang Meraka
5.      Kwangen
6.      Ajuman / Sodan
7.      Tipat Kelanan
8.      Peras
9.      Pambersihan
10.  Penyeneng
11.  Daksina
12.  Segehan
13.  Pejati
Gambar beberapa contoh jejahitan dan banten

      Gambar 1.  Porosan                                   Gambar 2.  Canang Genten


Gambar 3. Canang Sari                                   Gambar 4.  Kwangen

 









Gambar 5.  Tipat Kelanan                         Gambar 6. Daksina








Gambar 7. Segehan

Jenis – jenis banten/upakara yang disebutkan di atas merupakan jenis yang umum digunakan. Sebenarnya jenis jejahitan yang bisa dibuat tak terhingga jumlahnya. Jenis jejahitan disesuaikan dengan upacara yang akan dilaksanakan. Upakara berupa sesajen dan sarana pendukungnya adalah simbol atau Niyasa. Mencakup jenis yang banyak karena berkembang lebih jauh berdasarkan tafsir-tafsir para Maha Rsi. Dari bentuk dasar berupa Panca Upakara menjadi berbagai variasi, ornamen, warna, dan tatanan, selanjutnya menyatu dalam tradisi yang membudaya. Dari sini berkembanglah berbagai jenis sesajen yang terdiri dari unsur tumbuh-tumbuhan dan penggunaan warna-warna tertentu menurut ciri dan kedudukan Dewa - Dewa dalam kepercayaan Agama Hindu yang menguasai arah mata angin, yaitu : Ishvara di timur berwarna putih, Brahma di selatan berwarna merah, Mahadeva di barat berwarna kuning,  dan Wisnu di utara berwarna hitam. Selanjutnya Dewa dan warna - warna sela : Mahesora di tenggara berwarna merah muda, Rudra di barat daya berwarna oranye, Sangkara di barat laut berwarna hijau, Sambhu di timur laut berwarna abu-abu dan Siva di tengah-tengah berwarna campuran. Upakara sebagai simbol atau Niyasa dalam bentuk sesajen dapat berfungsi sebagai :                        
1.      Kekuatan Tuhan
2.      Wujud bhakti
3.      Prasadam/ Lungsuran/ Surudan
4.      Sarana pensucian

Upaya Peningkatan Keterampilan Majejahitan bagi Remaja Hindu di Bali

Remaja Hindu khususnya kaum perempuan merupakan generasi penerus yang kelak akan sangat memerlukan keterampilan majejahitan dalam setiap ritual keagamaan yang identik dengan masyarakat Bali. Keterampilan matanding atau membuat banten harus dikuasai. Namun remaja Hindu di Bali cenderung enggan dan malas mempelajarinya. Hanya sebagian kecil dari mereka yang sudah menguasai keterampilan ini, itupun belum optimal. Untuk mengoptimalisasikan keterampilan majejahitan tersebut diperlukan berbagai upaya. Di bawah ini penulis paparkan berbagai upaya yang dapat dilakukan :
1.    Melakukan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi
                               Penyuluhan dan sosialisasi dapat dilakukan untuk mewariskan sekaligus meningkatkan keterampilan generasi muda dalam majejahitan. Kegiatan ini dilakukan dengan bekerjasama dengan aparat desa bersangkutan. Mengingat masing-masing desa memiliki model dan tampilan banten yang berbeda – beda, sehingga dalam sosialisasi bisa dipilih orang-orang di desa setempat yang memang mahir dalam pembuatan banten atau biasa disebut serati .
2.    Melalui media pendidikan
Solusi yang dapat diberikan untuk meningkatkan keterampilan majejahitan adalah dengan memasukkan majejahitan sebagai mata pelajaran muatan lokal. Bisa juga dirangkaikan dengan mata pelajaran Agama Hindu sebagai bagian dari kegiatan praktek. Siswa tidak hanya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi bisa mempelajari dan menguasai kebudayaan asli daerahnya.
Majejahitan bisa dilakukan oleh kaum perempuan, sedangkan kaum pria ditugaskan membuat sarana pendukung pembuatan banten. Misalnya saja membuat kelatkat yang digunakan sebagai alas dari banten yang sudah jadi.
3.    Meningkatkan kegiatan Pasraman Kilat
              Pasraman kilat merupakan kegiatan yang biasanya dilakukan siswa sekolah untuk mengisi hari jeda tengah semester. Kegiatan yang dilaksanakan biasanya tidak jauh dari keterampilan yang bersifat keagamaan. Melalui proses ini siswa akan lebih tahu mengenai keterampilan pembuatan banten dan keterampilan lain yang merupakan rangkaian dari acara ritual keagamaan masyarakat Hindu di Bali. Kegiatan Pasraman Kilat diwajibkan untuk setiap siswa, sehingga semua siswa khususnya yang beragama Hindu bisa mengikuti pelatihan majejahitan.
4.    Menyelenggarakan perlombaan majejahitan
Upaya ini dapat dilakukan untuk mencari dan lebih menggali kreativitas remaja dalam hal majejahitan. Perlombaan seperti ini dapat memotivasi remaja untuk mempelajari keterampilan majejahitan. Remaja - remaja Bali akan terlatih membuat banten sebagai tradisi yang harus dilestarikan.
Masing – masing orang biasanya memiliki kreativitas yang berbeda – beda. Diadakannya perlombaan ini bermaksud agar remaja dapat menampilkan bentuk – bentuk ( motif ) jejahitan yang baru, tanpa mengabaikan bentuk asli yang sudah lazim digunakan.

Pihak – Pihak yang Dipertimbangkan dapat Membantu Mengimplementasikan Gagasan yang Diajukan
1.   Pemerintah
                     Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah Bali khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan harus mendukung gagasan ini agar dapat diimplementasikan oleh masyarakat pada umumnya dan remaja  pada khususnya. Dukungan yang diberikan adalah dengan memasukkan keterampilan majejahitan dalam mata pelajaran muatan lokal. Dengan memasukkan majejahitan sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal, maka ketika remaja Hindu di Bali memasuki jenjang pendidikan, mereka akan mendapatkan pengajaran tentang majejahitan.
2.   Sekolah
Sekolah sebagai salah satu tempat pembelajaran dapat membantu menyediakan media belajar bagi remaja dan anak – anak sekolah dalam mempelajari keterampilan majejahitan. Sekolah dapat mengatur teknis pelaksanaan pembelajaran muatan lokal khususnya majejahitan, agar siswa  dapat menguasai keterampilan ini secara optimal.
3. Aparat Desa Pakraman                              
Menyediakan tempat bagi masyarakat yang mau belajar majejahitan dan tenaga pengajarnya ( serati ). Persepsi masyarakat tentang keberadaan kaum wanita yang melakukan pekerjaan majejahitan dalam komunitas keluarga maupun di lingkungan desa Pekraman. Kehadiran kaum perempuan (terutama para ibu-ibu rumah tangga) sangat diharapkan untuk mengambil dan menyelesaikan semua pekerjaan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upacara keagamaan. Sehingga aparat desa pun perlu menaruh perhatian pada masalah majejahitan ini.
4. Remaja dan masyarakat Hindu di Bali
          Remaja dan masyarakat Hindu di Bali sebagai pelaku keterampilan majejahitan. Sebagai obyek yang menjadi sasaran pewarisan keterampilan majejahitan. Sehingga harus mengikuti kegiatan dengan baik. Agar keterampilan majejahitan dapat dikuasai secara optimal.

KESIMPULAN
1.   Remaja yang cenderung enggan dan malas mempelajari kebudayaan tradisional merupakan sebuah masalah serius yang harus diselesaikan.
2.   Pengembangan budaya Ajeg Bali adalah sebuah upaya untuk menjaga identitas kebalian orang Bali agar tetap kokoh dan terjaga. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan keterampilan remaja Bali dalam bidang majejahitan.
3.    Majejahitan merupakan suatu warisan budaya yang wajib dipelajari oleh setiap masyarakat Hindu di Bali.
4.   Berbagai upaya yang diberikan penulis dalam meningkatkan minat remaja dalam mempelajari kebudayaan Bali khususnya majejahitan adalah dengan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi, melalui media pendidikan, peningkatan kegiatan pasraman kilat dan optimalisasi penyelenggaraan perlombaan majejahitan.
5.   Remaja Bali diharapkan semakin menguasai keterampilan majejahitan.  






DAFTAR PUSTAKA
Sugilanus. 2010. Maje jahitan pewarisan kesadaran estetika manusia bali. Tersedia pada http://sugilanus.com/2010/08/14/majejahitan-pewarisan-kesadaran-estetika-manusia-bali. Diakses pada 13 November 2010
Anonim. 2010. Sejarah banten di Bali. Tersedia pada http://hindudibali.blogspot.com/2009/03/sejarah-banten-di-bali-dan-aspek.html. Diakses pada 25 Februari 2011
Mas Putra, Ny. I Gst. Agung., 1985. “ Mejejahitan di Bali dan Perkembangannya” Laporan Pertemuan Ilmiah Kebudayaan Bali, 26-29 Desember 1985. Denpasar: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Bali (Baliologi)