PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pulau Bali merupakan pulau dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu. Agama Hindu yang telah menyatu dengan kebudayaan Bali membuat kebudayaan Bali yang kita jumpai sekarang ini tidak terlepas dari pengaruh Agama Hindu. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Masyarakat Bali mengakui adanya perbedaaan (rwa bhineda), yang sering ditentukan oleh faktor ruang (desa), waktu (kala) dan kondisi riil di lapangan (patra). Konsep desa, kala, dan patra menyebabkan kebudayaan Bali bersifat fleksibel dan selektif dalam menerima dan mengadopsi pengaruh kebudayaan luar. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa komunikasi dan interaksi antara kebudayaan Bali dan budaya luar seperti India (Hindu), Cina, dan Barat khususnya di bidang kesenian telah menimbulkan kreatifitas baru dalam seni rupa maupun seni pertunjukkan.
Kebudayaan Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesama manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (palemahan), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kesejahteraan). Kemampuan menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut dapat mewujudkan kesejahteraan. Salah satu bentuk kebudayaan Bali yang paling kental adalah tradisi upacara keagamaan. Berbagai kebudayaan Bali seperti seni tari, seni tabuh, seni patung dan lain sebagainya menjadikan pulau Bali sebagai pulau dengan berbagai kebudayaan unik dan menarik dengan ciri khas tersendiri.
Pulau Bali yang kaya akan kebudayaan perlu dipertahankan dan dikembangkan, tanpa mengubah nilai – nilai asli kebudayaan tersebut. Masyarakat Bali sekarang ini telah berusaha untuk menanamkan konsep Ajeg Bali. Konsep Ajeg bali merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat Bali untuk tetap mempertahankan, menjaga serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan. Upaya mempertahankan keajegan budaya Bali memang menjadi tanggung jawab semua masyarakat Bali. Konsep Ajeg bali tersebut harus diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat sehari – hari. Contoh upaya implementasi konsep Ajeg Bali adalah dengan meningkatkan keterampilan majejahitan di kalangan remaja Hindu di Bali khususnya bagi remaja putri.
Majejahitan merupakan suatu kegiatan atau keterampilan membuat banten (sesajen yang digunakan dalam upacara atau ritual keagamaan di Bali) dengan berbagai bahan yang berasal dari alam. Masyarakat Bali yang identik dengan upacara keagamaan tidak terlepas dari banten sebagai salah satu sarana persembahan kepada Tuhan yang Maha Esa. Sejarah penggunaan banten diawali dari kedatangan Maha Rsi Markandeya ke Bali pada abad ke-8. Beliau mendapat wahyu bahwa umat Hindu di Bali perlu melengkapi upakara dengan bentuk sesajen, yang kemudian bernama bali. Jadi nama bali berasal dari artinya yaitu : sajen/banten/upakara. Orang yang memuja Tuhan dengan sarana banten/bali dinamakan orang Bali. Tempat mereka tinggal dinamakan tanah/pulau Bali.
Masyarakat Hindu di Bali khususnya kaum perempuan diharapkan mempunyai keterampilan dalam membuat banten yang disertai dengan kegiatan majejahitan. Mejejahitan sebenarnya terjadi secara alami, karena setiap anak perempuan memang ada tuntutan seminimal mungkin harus bisa mejejahitan guna membuat canang yang diaturkan setiap ada rerainan (hari suci umat Hindu), seperti kajeng kliwon, purnama, tilem, buda kliwon dan sebagainya. Dalam keluarga orang tua, terutama dari pihak ibu sangat bertanggung jawab dan berperan untuk mendidik anak perempuan belajar mejejahitan. Disadari atau tidak di sini peranan kaum ibu sebagai awal terjadinya proses belajar untuk melatih anak perempuan mejejahitan. Belajar mejejahitan bagi anak perempuan sudah dilakukan sejak usia dini, diawali dulu dengan membantu ibunya mengambil pekerjaan yang ringan. Sehubungan dengan perkembangan anak semakin dewasa, maka pemahaman tentang mejejahitan juga ikut berkembang, sudah barang tentu tidak terlepas dari dorongan dan perhatian dari pihak ibunya. Selanjutnya semua pengetahuan yang dimiliki oleh ibunya bisa ditranfer kepada anak perempuannya. Hal ini sebenarnya sangat membantu meringankan pekerjaan ibu dalam rumah tangga. Mengingat anak perempuannya sudah bisa diandalkan untuk melakukan pekerjaan majejahitan tersebut. Tradisi seperti ini yang masih berlangsung sampai saat ini di dalam keluarga yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi anak (perempuan) yang memiliki kemampuan dan keinginan mengembangkan tentang mejejahitan tentu banyak belajar dan berlatih dengan pihak orang lain yang memiliki pengetahuan lebih luas tentang mejejahitan tersebut. Kenyataannya banyak perempuan Bali yang tidak bisa dalam majejahitan. Kemampuan majejahitan hanya sebatas membuat jejahitan sederhana. Banyak dari mereka yang lebih memilih membeli banten di pasar atau tukang banten. Khususnya bagi mereka yang berkarir, baik di pemerintahan maupun swasta alternatif seperti ini dipilih karena alasan kesibukan. Keterampilan majejahitan ini sebenarnya merupakan sebuah pewarisan budaya hidup dari generasi ke generasi.
Majejahitan merupakan bagian integral masyarakat Bali yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Sehingga sudah sepantasnya perempuan Bali mempelajari keterampilan ini. Agar tetap ajegnya keterampilan majejahitan ini sebagai salah satu warisan budaya Bali, maka sebagai generasi penerus remaja – remaja Bali perlu mempelajari keterampilan ini sejak dini. Dari majejahitan ini perempuan - perempuan Bali belajar dan mewariskan apresiasi mereka terhadap estetika, terhadap unsur – unsur alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah banten. Selain itu, konsep Ajeg Bali yang telah ada di kalangan masyarakat Bali diharapkan tidak hanya sebagai konsep dan istilah saja, tetapi konsep Ajeg Bali tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari – hari.
Ajeg Bali merupakan semua bentuk kegiatan yang bercita – cita menjaga identitas kebalian orang Bali yang dibentuk dengan cara mengartikulasikan Bali sebagai konsep kebudayaan yang dimaknai sebagai adat agama leluhur. Oleh karena itu, agar kebudayaan – kebudayaan Bali tetap kokoh maka perlu realisasi dari semua pihak. Salah satunya remaja Bali sebagai generasi penerus yang akan menerima warisan kebudayaan dan berkewajiban mempertahankan, menjaga serta mengembangkannya.
Menilik dari permasalahan tersebut maka penulis mencoba mengangkat Program Kreativitas Mahasiswa Gagasan Tertulis dengan Judul “ Pelestarian Budaya Ajeg Bali di Kalangan Remaja Bali Melalui Peningkatan Keterampilan Majejahitan “, untuk meningkatkan minat remaja Bali dalam mempelajari budaya-budaya tradisional seperti majejejahitan.
Tujuan dan Manfaat
Terkait dengan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, dalam penulisan ini penulis mengangkat permasalahan bagaimana menerapkan konsep Ajeg Bali dan memberikan solusi dengan meningkatkan keterampilan majejahitan bagi remaja Bali khususnya kaum perempuan.
Tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk lebih menanamkan budaya Ajeg Bali terutama bagi remaja Bali. Sebagai upaya untuk mempertahankan dan menjaga kelestarian budaya Bali agar tetap kokoh dan terjaga. Tujuan khususnya adalah untuk meningkatkan kesadaran remaja Bali untuk tetap mempelajari kesenian - kesenian tradisional. Salah satunya adalah keterampilan dalam majejahitan sebagai kebutuhan pokok masyarakat Bali, sebagai umat beragama yang identik dengan banten sebagai sarana persembahan kepada Tuhan.
Adapun manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah meningkatkan kesadaran remaja Bali untuk mempelajari berbagai kebudayaan tradisional Bali, disamping kebudayan - kebudayaan global yang sekarang ini berkembang pesat. Keterampilan majejahitan sebagai bagian dari upacara keagamaan Bali dapat dikuasai oleh remaja - remaja Bali khususnya perempuan Bali. Ketika sudah menjadi seorang ibu rumah tangga mereka tidak kesulitan dalam menjalankan kewajibannya sehari-hari, termasuk menyiapkan atau membuat banten sebagai salah satu persembahan kepada Tuhan. Manfaat lain yang dapat diperoleh adalah meningkatnya kreativitas remaja-remaja Bali, khususnya dalam membuat jejahitan sesuai dengan kreasi yang mereka inginkan. Meningkatkan sradha bhakti kepada Tuhan yang Maha Esa melalui goresan atau tuasan - tuasan janur yang dikreasikan dalam majejahitan.
Bagi penulis sendiri penyusunan karya tulis ini sangat bermanfaat untuk melatih kreativitas dan keterampilan dalam menyusun suatu karya tulis yang berkualitas dan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat.
GAGASAN
Minat remaja Bali terhadap kebudayaan tradisional disamping budaya global saat ini
Dewasa ini kebudayaan tradisional semakin terhimpit oleh kebudayaan global. Kebudayaan tradisional yang merupakan warisan nenek moyang dianggap sesuatu yang kuno. Hanya sebagian kecil masyarakat yang memperhatikan kelestarian kebudayaan tradisional. Fenomena seperti itu juga terlihat pada beberapa kebudayaan tradisional Bali. Kebudayaan tradisional Bali juga mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Pengaruh kebudayaan global menjadi salah satu penyebabnya. Masyarakat saat ini berpacu pada sesuatu yang modern. Sehingga bagi mereka hal yang tradisional dianggap ketinggalan jaman.
Adaptasi budaya global sangat terlihat dari kebiasaan – kebiasaan yang mulai berubah. Seperti cara berpakaian, sopan santun bertutur kata dan lain sebagainya. Perubahan yang paling besar terjadi di kalangan remaja. Kondisi remaja yang masih labil menyebabkan hal – hal yang baru mudah mempengaruhinya. Remaja juga mulai menunjukkan gejala yang sama. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan remaja mulai meninggalkan kebudayaan tradisional. Hal itu dapat kita lihat pada sedikitnya minat remaja Hindu di Bali untuk mempelajari kebudayaan seperti keterampilan majejahitan. Hanya sedikit remaja yang mempunyai keterampilan majejahitan. Pewarisan keterampilan majejahitan seharusnya dimulai sejak dini. Remaja merupakan obyek pewarisan yang pertama terhadap berbagai kebudayaan. Jika dari sekarang minat terhadap majejahitan mulai menurun, maka bisa dibayangkan beberapa tahun kemudian tidak akan dijumpai orang – orang yang dapat majejahitan. Hal tersebut sangat ditakuti oleh masyarakat Bali.
Makna Majejahitan
Secara konsepsional majejahitan merupakan suatu aktivitas untuk mendapatkan bentuk-bentuk dari potongan bahan dedaunan seperti busung (daun kelapa yang masih muda atau janur), selepan (daun kelapa yang masih hijau), ron (daun enau yang masih hijau), ambu (daun masih muda yang berwarna putih) dan ental atau rontal (daun dari pohon ental masih muda dan memlalui proses pengeringan), Agung Mas Putra (1985: 4). Secara umum daun tersebut, dalam realitasnya di masyarakat banyak digunakan sebagai sarana upacara bebantenan (sesajen) bagi umat Hindu di Bali. Daun itu kemudian dipotong-potong sesuai ukuran yang dikehendaki oleh orang yang mengerjakan, sesuai dengan panjang jarak antara ibu jari dengan telunjuk ditambah satu jari melintang (amusti). Potongan-potongan daun inilah yang dirangkai dengan menjahit menggunakan “semat”, yaitu irisan bambu yang kecil dengan ukuran minimal 0,1 X 15-50 cm. Ukuran panjang daripada irisan bambu sangat tergantung pada ruas daripada bambu itu sendiri. Pekerjaan memotong daun-daunan yang dilanjutkan menjahit dengan semat atau benang disebut mejejahitan, sedangkan hasilnya disebut jejahitan. Pekerjaan memotong dedaunan untuk mendapatkan sesuatu bentuk disebut “metetuasan” dan hasilnya disebut “tetuasan”. Pekerjaan merangkai menjahit dengan “semat” disebut “ngakit” atau “nyahit” (Mas Putra, 1985: 4).
Majejahitan merupakan bagian dari matanding (kegiatan untuk menyanding-nyandingkan atau menata berbagai bahan sesaji sehingga menjadi sebuah keutuhan sebuah banten). Mejejahitan pada dasarnya mengandung suatu konsep keindahan atau estitika, sangat menarik dipandang sehingga setiap orang ingin belajar, sebab berbagai bentuk dapat diperlihatkan. Semua jejahitan memakai ornamen dengan teknis tetuasan dan reringgitan sehingga mengandung simbolis atau lambang suatu bentuk persembahan. Disamping itu pula berfungsi sebagai dekorasi, yaitu hiasan bermakna sebagai simbolis misalnya: tamiang, kolem, gantung-gantungan, lamak, dan lain-lain. Dekorasi tersebut bermakna untuk menciptakan kemeriahan dan kesemarakan suatu ruangan seperti Liasan Paku Pipid, Gebongan, Janur dan sebagainya.
Keterampilan majejahitan ini diwariskan dari generasi ke generasi. Ini terjaga dari abad ke abad. Dalam suka cita pewarisannya selalu ada yang terbaharui. Sehingga sering kita lihat model atau penampilan banten berbeda-beda dari setiap generasi dan setiap tempat. Hal itu disesuaikan dengan aturan Desa ( tempat ), kala ( waktu ), dan patra ( keadaan ). Tapi hal tersebut tidak mengubah makna Banten sebagai persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Majejahitan dan matanding menjadi aktivitas dibalik semua ritual dan upacara –upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat hindu di Bali. Ini menjadi bagian teramat penting dari sebuah prosesi ritual. Adapun jenis jejahitan yang akan disajikan adalah sebagai berikut :
1. Porosan
2. Canang Genten
3. Canang sari
4. Canang Meraka
5. Kwangen
6. Ajuman / Sodan
7. Tipat Kelanan
8. Peras
9. Pambersihan
10. Penyeneng
11. Daksina
12. Segehan
13. Pejati
Gambar 1. Porosan Gambar 2. Canang Genten
Gambar 3. Canang Sari Gambar 4. Kwangen
Gambar 5. Tipat Kelanan Gambar 6. Daksina
Gambar 7. Segehan
Jenis – jenis banten/upakara yang disebutkan di atas merupakan jenis yang umum digunakan. Sebenarnya jenis jejahitan yang bisa dibuat tak terhingga jumlahnya. Jenis jejahitan disesuaikan dengan upacara yang akan dilaksanakan. Upakara berupa sesajen dan sarana pendukungnya adalah simbol atau Niyasa. Mencakup jenis yang banyak karena berkembang lebih jauh berdasarkan tafsir-tafsir para Maha Rsi. Dari bentuk dasar berupa Panca Upakara menjadi berbagai variasi, ornamen, warna, dan tatanan, selanjutnya menyatu dalam tradisi yang membudaya. Dari sini berkembanglah berbagai jenis sesajen yang terdiri dari unsur tumbuh-tumbuhan dan penggunaan warna-warna tertentu menurut ciri dan kedudukan Dewa - Dewa dalam kepercayaan Agama Hindu yang menguasai arah mata angin, yaitu : Ishvara di timur berwarna putih, Brahma di selatan berwarna merah, Mahadeva di barat berwarna kuning, dan Wisnu di utara berwarna hitam. Selanjutnya Dewa dan warna - warna sela : Mahesora di tenggara berwarna merah muda, Rudra di barat daya berwarna oranye, Sangkara di barat laut berwarna hijau, Sambhu di timur laut berwarna abu-abu dan Siva di tengah-tengah berwarna campuran. Upakara sebagai simbol atau Niyasa dalam bentuk sesajen dapat berfungsi sebagai :
1. Kekuatan Tuhan
2. Wujud bhakti
3. Prasadam/ Lungsuran/ Surudan
4. Sarana pensucian
Upaya Peningkatan Keterampilan Majejahitan bagi Remaja Hindu di Bali
Remaja Hindu khususnya kaum perempuan merupakan generasi penerus yang kelak akan sangat memerlukan keterampilan majejahitan dalam setiap ritual keagamaan yang identik dengan masyarakat Bali. Keterampilan matanding atau membuat banten harus dikuasai. Namun remaja Hindu di Bali cenderung enggan dan malas mempelajarinya. Hanya sebagian kecil dari mereka yang sudah menguasai keterampilan ini, itupun belum optimal. Untuk mengoptimalisasikan keterampilan majejahitan tersebut diperlukan berbagai upaya. Di bawah ini penulis paparkan berbagai upaya yang dapat dilakukan :
1. Melakukan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi
Penyuluhan dan sosialisasi dapat dilakukan untuk mewariskan sekaligus meningkatkan keterampilan generasi muda dalam majejahitan. Kegiatan ini dilakukan dengan bekerjasama dengan aparat desa bersangkutan. Mengingat masing-masing desa memiliki model dan tampilan banten yang berbeda – beda, sehingga dalam sosialisasi bisa dipilih orang-orang di desa setempat yang memang mahir dalam pembuatan banten atau biasa disebut serati .
2. Melalui media pendidikan
Solusi yang dapat diberikan untuk meningkatkan keterampilan majejahitan adalah dengan memasukkan majejahitan sebagai mata pelajaran muatan lokal. Bisa juga dirangkaikan dengan mata pelajaran Agama Hindu sebagai bagian dari kegiatan praktek. Siswa tidak hanya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi bisa mempelajari dan menguasai kebudayaan asli daerahnya.
Majejahitan bisa dilakukan oleh kaum perempuan, sedangkan kaum pria ditugaskan membuat sarana pendukung pembuatan banten. Misalnya saja membuat kelatkat yang digunakan sebagai alas dari banten yang sudah jadi.
3. Meningkatkan kegiatan Pasraman Kilat
Pasraman kilat merupakan kegiatan yang biasanya dilakukan siswa sekolah untuk mengisi hari jeda tengah semester. Kegiatan yang dilaksanakan biasanya tidak jauh dari keterampilan yang bersifat keagamaan. Melalui proses ini siswa akan lebih tahu mengenai keterampilan pembuatan banten dan keterampilan lain yang merupakan rangkaian dari acara ritual keagamaan masyarakat Hindu di Bali. Kegiatan Pasraman Kilat diwajibkan untuk setiap siswa, sehingga semua siswa khususnya yang beragama Hindu bisa mengikuti pelatihan majejahitan.
4. Menyelenggarakan perlombaan majejahitan
Upaya ini dapat dilakukan untuk mencari dan lebih menggali kreativitas remaja dalam hal majejahitan. Perlombaan seperti ini dapat memotivasi remaja untuk mempelajari keterampilan majejahitan. Remaja - remaja Bali akan terlatih membuat banten sebagai tradisi yang harus dilestarikan.
Masing – masing orang biasanya memiliki kreativitas yang berbeda – beda. Diadakannya perlombaan ini bermaksud agar remaja dapat menampilkan bentuk – bentuk ( motif ) jejahitan yang baru, tanpa mengabaikan bentuk asli yang sudah lazim digunakan.
Pihak – Pihak yang Dipertimbangkan dapat Membantu Mengimplementasikan Gagasan yang Diajukan
1. Pemerintah
Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah Bali khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan harus mendukung gagasan ini agar dapat diimplementasikan oleh masyarakat pada umumnya dan remaja pada khususnya. Dukungan yang diberikan adalah dengan memasukkan keterampilan majejahitan dalam mata pelajaran muatan lokal. Dengan memasukkan majejahitan sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal, maka ketika remaja Hindu di Bali memasuki jenjang pendidikan, mereka akan mendapatkan pengajaran tentang majejahitan.
2. Sekolah
Sekolah sebagai salah satu tempat pembelajaran dapat membantu menyediakan media belajar bagi remaja dan anak – anak sekolah dalam mempelajari keterampilan majejahitan. Sekolah dapat mengatur teknis pelaksanaan pembelajaran muatan lokal khususnya majejahitan, agar siswa dapat menguasai keterampilan ini secara optimal.
3. Aparat Desa Pakraman
Menyediakan tempat bagi masyarakat yang mau belajar majejahitan dan tenaga pengajarnya ( serati ). Persepsi masyarakat tentang keberadaan kaum wanita yang melakukan pekerjaan majejahitan dalam komunitas keluarga maupun di lingkungan desa Pekraman. Kehadiran kaum perempuan (terutama para ibu-ibu rumah tangga) sangat diharapkan untuk mengambil dan menyelesaikan semua pekerjaan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upacara keagamaan. Sehingga aparat desa pun perlu menaruh perhatian pada masalah majejahitan ini.
4. Remaja dan masyarakat Hindu di Bali
Remaja dan masyarakat Hindu di Bali sebagai pelaku keterampilan majejahitan. Sebagai obyek yang menjadi sasaran pewarisan keterampilan majejahitan. Sehingga harus mengikuti kegiatan dengan baik. Agar keterampilan majejahitan dapat dikuasai secara optimal.
KESIMPULAN
1. Remaja yang cenderung enggan dan malas mempelajari kebudayaan tradisional merupakan sebuah masalah serius yang harus diselesaikan.
2. Pengembangan budaya Ajeg Bali adalah sebuah upaya untuk menjaga identitas kebalian orang Bali agar tetap kokoh dan terjaga. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan keterampilan remaja Bali dalam bidang majejahitan.
3. Majejahitan merupakan suatu warisan budaya yang wajib dipelajari oleh setiap masyarakat Hindu di Bali.
4. Berbagai upaya yang diberikan penulis dalam meningkatkan minat remaja dalam mempelajari kebudayaan Bali khususnya majejahitan adalah dengan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi, melalui media pendidikan, peningkatan kegiatan pasraman kilat dan optimalisasi penyelenggaraan perlombaan majejahitan.
5. Remaja Bali diharapkan semakin menguasai keterampilan majejahitan.
DAFTAR PUSTAKA
Sugilanus. 2010. Maje jahitan pewarisan kesadaran estetika manusia bali. Tersedia pada http://sugilanus.com/2010/08/14/majejahitan-pewarisan-kesadaran-estetika-manusia-bali. Diakses pada 13 November 2010
Anonim. 2010. Sejarah banten di Bali. Tersedia pada http://hindudibali.blogspot.com/2009/03/sejarah-banten-di-bali-dan-aspek.html. Diakses pada 25 Februari 2011
Mas Putra, Ny. I Gst. Agung., 1985. “ Mejejahitan di Bali dan Perkembangannya” Laporan Pertemuan Ilmiah Kebudayaan Bali, 26-29 Desember 1985. Denpasar: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Bali (Baliologi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar